Minggu, 23 November 2014

Laporan Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak 2012 Undip



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Bagi negara yang beriklim tropis seperti Indonesia dengan keadaan cuaca yang panas sangat kering atau lembab akan mempengaruhi status kesehatan ternak. Salah satu cara untuk menjaga kesehatan ternak adalah dengan mengontrol dan mengatur tata laksana kesehatan ternak, antara lain dengan pemeriksan kesehatan ternak melalui pengamatan tingkah laku ternak, pemeriksaan fisik tubuh ternak dan pemeriksaan kondisi fisiologis ternak. Penyakit pada ternak yang tersebar sekarang ini banyak disebabkan oleh parasit, baik endoparasit maupun ektoparasit.

1.2.Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak yaitu untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak dan untuk mengetahui jenis-jenis parasit penyebab penyakit baik ektoparasit maupun endoparasit serta untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak dengan cara melakukan nekropsi. Manfaat praktikum yaitu agar praktikan dapat mengerti dan mendiagnosa kondisi kesehatan ternak dari pemeriksaan fisik, tingkah laku, kondisi fisiologis ternak dan untuk mengetahui jenis-jenis parasit penyebab penyakit baik ektoparasit maupun endoparasit.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.      Analisis Kondisi Peternakan Rakyat
Anamnesa yaitu suatu cara untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak dengan cara menanyakan pada pemilik ternak yang meliputi permasalahan serta hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan ternak (Ludgate, 2006). Beberapa faktor yang menyebabkan hewan sakit antara lain faktor mekanis, termis, kekurangan nutrisi, pengaruh zat kimia, dan faktor lingkungan (Subronto, 2003).
            Kandang bagi ternak merupakan sarana yang sangat diperlukan, kandang bukan hanya sebagai tempat tinggal saja tetapi kandang harus dapat melindungi dari segala aspek dari luar yang menimbulkan gangguan.  Adapun syarat kandang yang baik antara lain memberi kenyamanan pada sapi, memenuhi persyaratan bagi kesehatan sapi, memiliki ventilasi udara yang baik dan mudah dibersihkan (Sitepoe, 2008). Perkandangan sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak domba dan kambing yang dipelihara, kandang berguna untuk melindungi ternak (misalnya panas, hujan, angin, binatang buas, dan lain-lain), memudahkan pemeliharaan dan pengawasan sehari-hari, dan memudahkan pengumpulan kotoran (sehingga kebersihan kotoran dapat terjaga dan kotoran dapat digunakan sebagai pupuk organik) (Rianto, 2004).
Atap kandang berguna untuk menghindarkan ternak dari air hujan dan terik matahari serta menjaga kehangatan pada malam hari. Bahan atap dapat dibuat dari genteng, ilalang, daun kelapa atau daun tebu. Atap kandang hendaknya dibuat miring sekitar 30o, agar air hujan dapat lancar mengalir, ketinggian atap hendaknya tidak terlalu rendah agar kandang tidak terlalu panas (Rianto, 2004). Dinding berfungsi sebagai pembatas angin, penahan keluar masuknya udara dari kandang. Bahan yang digunakan untuk membuat dinding adalah anyaman bambu, papan dan batu bata (Sugeng, 2000).
Salah satu faktor yang utama adalah makanan, di samping faktor genetis dan manajemen pemberian pakan yang cukup (Sonjaya, 2010).Pakan merupakan faktor penting dalam menunjang produksi yang maksimal (Rianto, 2004).
Kandang berfungsi untuk melindungi ternak, tempat istirahat ternak, mengontrol ternak, dan memudahkan pelaksanaan pemeliharaan.Ternak yang dipelihara oleh bapak Suwarno memiliki riwayat penyakit pada kulit yaitu kudikan. Tanda sakit yang terlihat pada ternak adalah adanya luka di sekitar permukaan kulit, dan tidak lincah (Rianto, 2004). Kesehatan ternak bisa dicapai dengan tindakan hygiene, sanitasi lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan dan teknis yang tepat (Sugeng, 2000).

2.2.      Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia
Ternak yang sehat akan bergerak secara aktif dan memiliki nafsu makan yang tinggi. Ternak yang diamati berjalan dengan tidak tegap karena terdapat luka pada sendi keempat kakinya (Rianto, 2004). Ternak sehat akan berdiri dengan tegap dan berjalan lincah (Sitepoe, 2008).
Taraf  kesehatan ternak terlihat dari permukaan kulit yang halus, bersih dan mengkilat serta nafsu makan tinggi. Pemeriksaan fisik meliputi bagian tubuh yang sakit, pengaruh penyakit tersebut terhadap ternak, dan cara pengobatan yang telah dilakukan (Ludgate, 2006). Suhu tubuh rektal pada pada kambing muda berada pada level 38,76oC-39,44oC dan pada kambing dewasa 39,4oC, frekuensi nafas yang normal dijumpai yakni pada kisaran 10-20kali/menit dan gerak rumen 5 kali/menit (Sonjaya, 2010).
Mengetahui kesehatan kambing secara umum, peternak bisa memperhatikan keadaan tubuh, sikap dan tingkah laku, frekuensi pernafasan, denyut jantung, pencernaan, dan pandangan kambing. Kambing yang sehat keadaan tubuhnya tampak bulat berisi dengan kulit lemas tidak kaku, mudah dilipat yang bila dilepas lipatannya cepat merata kembali pada keadaan semula, mudah dan bebas digeser – gesser. Selain itu, bulunya licin dan mengkilat. Selaput lendir mulut dan gusi berwarna merah muda, lidah mudah bergerak secara bebas. Ujung hidung bersih, basah, dan dingin. Hidung kambing yang kering menunjukkan bahwa kambing itu menderita panas tubuh akibat suatu infeksi (Sugeng, 2000). Kambing  yang sehat kelihatan tegap. Keempat kaki memperoleh titik berat sama. Kambing  yang terus–menerus tiduran memberikan kesan bahwa sapi tersebut sakit atau mengalami kelelahan. Kambing peka terhadap lingkungan. Jika ada orang yang mendekatinya, ia akan cepat bereaksi, yakni cepat berdiri. Mula–mula yang berdiri adalah kaki belakang, kemudian membungkukkan punggung dan menggerak–gerakkan kulit sambil memperhatikan sekitarnya. Bila akan diberi makan atau air minum, mulutnya akan dipenuhi oleh pakan dan cara minumnya panjang–panjang (Sonjaya, 2010).

2.3.      Parasit
Parasit adalah suatu organisme yang hidup diatas bantuan organisme lain yang lazim dikenal sebagai induk semang (Hadi, 2000). Parasit yang hidup di dalam tubuh inang disebut endoparasit. Parasit tersebut mendapat makanan untuk tumbuh dan berkembang biak dari organ atau jaringan inangnya. Suatu parasit mungkin membahayakan jika cukup banyak adanya, mungkin tidak membahayakan jika jumlahnya sedikit (Benjamin, 2008).
            Metode natif lebih praktis digunakan pada pemeriksaan endoparasit pada sampel feses (Hernasari, 2011). Metode sentrifuse  adalah metode yang digunakan dalam pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya telur cacing maupun cacing dengan menggunakan cairan NaCl. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tabbu (2000) yang menyatakan bahwa metode sentrifuse dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.

2.3.1.   Ektoparasit
2.3.1.2. Tabanus rubidus, Tabanus sp memiliki mulut seperti gunting yang bertujuan untuk memotong kulit dan kemudian untuk meminum darah. Tabanus suka binatang kambing dan tidak terlalu berbahaya bagi manusia (Hadi, 2000). Telur tabanus sp. Berbentuk lonjong diletakkan secara berkelompok menempel pada permukaan bawah daun atau batang tanaman yang tumbuh ditempat-tempat yang berair. Pemberantasan tabanus sp dapat dilakukan terhadap tabanus dewasanya maupun semasa masih menjadi telur. Penyemprotan dengan insektisida terhadap yang dewasa dianggap cukup efektif. Selain itu memberantas tempat perkembangbiakannya dapat juga dilakukan supaya telur-telur tidak dapat menetas (Kadarsan, 2000). Mengontrol parasit eksternal khususnya ektoparasit Tabanus rubidus dapat dilakukan dengan cara-cara antara lain menyemprotkan obat secara langsung ke parasit sampai ke persembunyiannya, melakukan penyemprotan secara langsung ke ternak yang terinfeksi untuk menekan perkembangan parasit tersebut, menaburkan sulfur ke ats litter atau ke dalam sarang dengan dosis 30 g/m2 (Fadilah dan Polana, 2005).

2.3.2.2. Sarcophaga sp., Sarcophaga sp. merupakan salah satu jenis ektoparasit yang ukuran tubuh Sarcophaga sp.11-15 mm, berwarna abu-abu, bagian toraks terdapat 3  garis hitam, abdomen memiliki pola bintik-bintik hitam dan abu-abu seperti papan catur, struktur mulutnya tipe penjilat dan aristanya berambut pada setengah bagian frontal sedangkan sebagian distalnya tidak berambut.  Daur hidup Sarcophaga sp. dengan metamorfosa sempurna melalui 4 tahapan yaitu, telur, larva, pupa, dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan waktu 12-15 hari tergantung pada suhu, kelembapan dan jenisnya. Habitat Sarcophaga sp adalah sampah, tinja dan dapur yang memproduksi makanan dalam jumlah besar. Siklus hidup lalat memerlukan waktu sekitar lima belas hari. Dalam hidupnya seekor lalat betina mampu bertelur 5-6 kali dengan 100-150 butir untuk setiap kalinya, atau 500–900 butir sepanjang hidupnya. Kemampuan reproduksi akan meningkat jika berada  pada lingkungan yang sesuai, terutama banyak bahan organik yang membusuk seperti sampah, tinja, dan bangkai (Kadarsan, 2000). Kepadatan lalat akan sangat tinggi di tempat-tempat pembuangan sampah, pasar dan dapur yang memproduksi makanan dalam jumlah besar. Kepadatan dan penyebaran lalat sangat dipengaruhi oleh reaksi terhadap cahaya, suhu dan kelembaban udara, serta warna dan tekstur permukaan tempat (Hadi,2000).

2.3.2.   Endoparasit
2.3.2.1. Oesophagostamum, Cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar. Disebut cacing bungkul karena bentuk larva cacing ini dapat menyebabkan bungkul-bungkul di sepanjang usus besar. Ukuran rata-rata cacing bungkul dewasa betina antara 13,8 – 19,8 mm dan Jantan antara 11,2 – 14 5 mm (Kadarsan, 2000). Gejala klinis yang disebabkan cacing Oesophagostamum antara lain kambing kurus, nafsu makan hilang, pucat, anemia dan kembung. Feses berwarna hitam, lunak bercampur lendir atau darah segar. Siklus hidup cacing ini adalah berawal babi yang banyak terinfeksi cacing ini dengan memakan telur yang dikeluarkan oleh ruas cacing dewasa lewat kotoran manusia dan mereka membentuk siste yang berwarna putih susu dengan panjang ± 1 cm yang terletak pada otot-otot ternak tersebut (Hadi, 2000). Selain pemberian antelmintik, pengendalian yang banyak dilakukan adalah dengan manajemen penggembalaan dan penambahan pakan tambahan seperti molase pada pakan (Larsen, 2000).

2.3.2.2. Moniezia, Cacing moniezia sp umumnya menginfeksi sapi umur dibawah enam bulan dan kelainan yang ditimbulkan pada umumnya ringan dan tidak menciri, pada infeksi berat menyebabkan kelemahan, diare (karena iritasi oleh proglotid cacing) atau konstivasi (karena tersumbatnya usus oleh cacing), konvulsi (kejang-kejang) (Johnstone, 2000). Campuran Copper sulphate dengan Phenothiazine atau Nicotine sulphate atau ketiganya dengan perbandingan 1 : 10 : 100 setiap hari selama musim merumput. Albendazole 10 mg/kg , Fembendazole 5 mg/kg, Cambendazole 20 mg/kg, Oxfendazole 5 mg/kg, Fraziquantel 15 mg/kg, Bunamidine hydroxynapthoate 25-50 mg/kg, Niclosamide 75-150 mg/kg. Niclosamide, Praziquantel, benzimidazole. Sulfas cupricus 1% diberikan sebanyak 10 – 100 ml,  Sulfas cupricus dicampur dengan Nicotin, Yomesan 75 mg/kg berhasil baik  (Hadi, 2000). Proglotid yang masak penuh dengan telur dan keluar dari tubuh melalui kotoran dan berpotensial infective dalam beberapa bulan. Untuk menjadi invektive terhadap kambing maka telur harus termakan oleh tungau yang hidup di tanah atau rumput. Telur yang sudah termakan akan mengalami siklus hidupnya pada tubuh tungau secara lengkap. Kemudian tungau akan termakan oleh kambing ketika kambing sedang merumput, telur terbebas dari tubuh tungau di usus kambing dan berkembang menjadi cacing dewasa (Kadarsan, 2000).

2.3.2.3. Fasciola gigantica, Infeksi oleh cacing Fasciola gigantica menyebabkan keruksakan hati serius dalam bentuk fibrosis, dan anemia pada sapi, kerbau, dan domba maupun kambing. Invasi campuran fasciola dan nematoda dapat mengakibatkan cacingan akut pada domba dan kambing     (Subronto, 2003). Jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam feses akan mengalami kesulitan dalam mendiagnosa, dan telur tidak akan ditemukan sampai cacing hati mulai produksi telur biasanya antara minggu ke 10-14 setelah hewan diinfeksi Fasciola g. siklus hidup cacing Fasciola gigantica telur yang dikeluarkan oleh parasit dewasa pada saluran empedu, keluar melalui kotoran dan sampai pada organisme yang berair, kemudian menetas dalam waktu 10 hari atau lebih, lalu memasuki siput yang cocok dan mengalami perkembangbiakan aseksual dan sangat aktif menempel pada daun-daunan (Tabbu, 2000).
2.3.2.4. Trichostrongylus spp, jenis cacing nematoda yang banyak terdapat pada domba dan kambing di Indonesia, di antaranya adalah Haemonchus spp., Trichostrongylus spp., Cooperia spp., Oesophagostomum spp. dan Bunostomum spp.  Cacing nematoda saluran pencernaan adalah sekelompok cacing yang berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya meruncing, dan menginfeksi saluran pencernaan ternak ruminansia (Ahmad, 2002).  Siklus hidup dimulai dari telur yang dikeluarkan melalui feses manusia atau hewan, kemudian hidup di tanah dan bercampur dengan rumput lalu rumput tersebjt dimakan oleh ternak dan kembali hidup di dalam perut ternak tersebut, begitu seterusnya. Gejala klinis yang bisa diamati adalah ternak muda terlihat pertumbuhan terhambat, mencret dengan warna tinja hijau kehitaman, kurus dan diakhiri kematian. Gangguan yang ditimbulkan akibat terserang cacing nematoda saluran pencernaan berupa penurunan bobot badan dan timbulnya kematian, terutama pada hewan muda (Johnstone, 2000).

2.4.      Pemeriksaan Kesehatan Ayam (Broiler)
Pencegahan penyakit pada pemeliharaan ternak unggas lebih utama dibandingkan pengobatan sebab biaya untuk pencegahan lebih murah dibandingkan dengan biaya pengobatan. Ciri-ciri ayam yang sehat yaitu konsumsi pakan dan air minum normal, kotoran normal tidak encer, giat melakukan aktivitas, bersuara normal, temperatur tubuh normal, denyut jantung normal, pernafasan normal (Suprijatna et al., 2005). Pengambilan darah (venesectio) merupakan salah satu hal yang terpenting dari kegiatan peternakan. Tujuan pengambilan darah ternak yaitu untuk mengetahui tingkat kadar suatu zat yang terkandung dalam darah ternak tersebut. Pengambilan sampel darah ternak dapat juga di gunakan untuk mengidentifikasi suatu penyakit yang menyerang atau diderita ternak tersebut (Sonjaya, 2010).
Pengambilan sampel darah pada ternak tidak bisa di lakukan dengan cara sembarangan, di perlukan kecermatan dan ketelitian yang tinggi. Karena apabila terjadi kesalahan maka darah tidak akan terhisap keluar dan apabila tidak dilakukan dengan cara yang benar maka akan menimbulkan sakit pada hewan yang diambil sampel darahnya (Rianto, 2004). Pengambilan darah pada ternak dilakukan dibagian vena jugularis dan vena bracialis, pemeriksaan ini selain untuk bakteriologis juga dapat mendiagnosis penyakit pada ternak (Tabbu, 2002).
Permukaan kulit pada unggas yang sehat berwarna cerah, mengkilat dan  tidak  kering, permukaannya bersih, dan tidak ada luka atau benjolan-benjolan yang sangat menonjol (Suprijatna et al., 2008). Bedah bangkai harus dilakukan setiap hari jika ada ayam yang mati atau ayam yang dimatikan karena dicurigai terjangkit suatu penyakit (Fadilah dan Polana, 2005).
Rongga dada terdapat organ-organ pernafasan yang terdiri dari paru-paru, kantong udara, trakea (Yuwanta, 2004). Kantong udara merupakan tempat penyimpanan udara yang masuk dan rentan juga penyakit akibat virus ikut masuk bersamaan dengan masuknya udara. Mencegah penyakit pada saluran pernafasan bisa dengan menjaga litter agar tetap kering, menghindari kandungan amonia yang tinggi, menjaga agar debu di dalam kandang tidak terlalu banyak, sebaiknya tidak membakar sampah di sasmping kandang  (Fadilah dan Polana, 2005).
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan dan organ asesori antara lain, mulut / paruh, esophagus, crop, proventriculus, gizzard, duodenum, usus halus, ceca, rectum, cloaca, dan vent (Suprijatna et al., 2008). Setiap bagian alat pencernaan memiliki fungsi yang berbeda, mulut, memasukkan makanan dan mengahsilkan air liur. Kerongkongan untuk menyalurkan makanan ke tembolok. Tembolok berfungsi sebagai penampung sementara makanan sebelum proses selanjutnya. Usus halus sebagai tempat menguraikan protein dan gula. Usus besar sebagai penambah kandungan air dalam sel tubuh. Kloaka sebagai lubang pengeluaran sisa pencernaan (Fadilah dan Polana, 2005).
Hati ayam dalam kondisi sehat warnanya merah ukurannya normal sesuai umur ternak, tidak pucat, dan tidak ada bintik atau bengkak. Hati merupakan organ pencernaan tambahan yang mengahsilkan getah empedu yang penting untuk proses penyerapan lemak dan ekskresi limbah produk seperti kolesterol dan hasil sampingan degredasi hemoglobin. Ayam memiliki kantong empedu yang terdiri dari dua saluran (Suprijatna et al., 2008). Hati ayam yang sehat yang tidak terserang penyakit dapat dilihat berwarna coklat kemerahan, tidak pucat, dan tidak mengalamai kebengkakan (Fadilah dan Polana, 2005).
Kondisi umum jantung yang sehat pada ayam antara lain berwarna coklat pucat, selaput jantungnya bersih, konsistensi kenyal, dan tidak ada pendarahan (Suprijatna et al., 2008). Jantung ayam memiliki empat ruang, yaitu dua atria dan dua ventrikel dimana semakin kecil ayam, semakin cepat pula denyutnya (Yuwanta, 2004).
Pada unggas terdapat dua buah ginjal yang bentuknya relatif besar memanjang, berlokasi di belakang paru-paru dan menempel pada tulang (Suprijatna et al., 2008). Ginjal unggas terdiri dari banyak tubulus kecil atau nepron yang menjadi unit fungsional utama dari ginjal (Fadilah dan Polana, 2011).
Pankreas merupakan suatu kelenjar yang berfungsi sebagai kelenjar endokrin maupun sebagai kelenjar eksokrin, insulin, dan glukagon (Suprijatna et al., 2008). Pankreas merupakan organ pencernaan tambahan yang membantu dalam proses pakan sebagai saluran sekresi. Pankreas bertugas mensekresikan cairan-cairan yang diperlukan bagi proses pencernaan di dalam usus halus (Fadilah dan Polana,2005).
Bursa fabrisius berbentuk seperti bunga. Bursa fabrisius merupakan tempat berkumpulnya sebagian besar sel limfosit B yang belum matang (immature) (Yuwanta, 2004). Bursa fabrisius merupakan salah satu organ sistem kekebalan pada unggas (Suprijatna et al., 2008).
Trakea berbentuk seperti selang merupakan saluran pernafasan pertama yang tersusun atas tulang rawan yang berbuku-buku (Suprijatna et al., 2008). Kondisi trakea ayam  yang sehat adalah  berwarna putih, dan ukurannya kecil (Fadilah dan Polana, 2005).
              Paru-paru ayam relatif lebih kecil secara proporsional dengan ukuran tubuhnya (Suprijatna et al., 2008). Paru-paru tersebut mengembang dan berkontraksi hanya sedikit. Paru – paru yang sehat berwarna merah dan tidak mudah rapuh atau kenyal (Fadilah dan Polana, 2005).
Saraf pada unggas berbentuk memanjang putih dan  merupakan satu kesatuan yang dapat mengontrol semua fungsi pada tubuh (Suprijatna et al., 2008). Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf otak atau somatik yang bertanggung jawab terhadap gerakan tubuh pada kondisi sadar dan  sistem saraf  otonom yang bertanggung jawab dalam koordinasi gerak dibawah sadar (Yuwanta, 2004).
Gejala penyakit Newcastle Disease yaitu gejala kelainan saluran pernapasan (batuk, ngorok, susah bernapas, keluar lendir dari hidung), nafsu makan hilang, feses berwarna hijau dan kadang-kadang disertai gumpalan putih, gemetaran pada seluruh tubuh, gejala kelainan syaraf (kelumpuhan pada kaki dan atau sayap, leher terpuntir dan ayam berputar-putar), pendarahan pada saluran pencernaan (Suprijatna et al., 2005). Penularan VND dapat terjadi secara langsung antar ayam dalam satu kelompok ternak tertular. Sumber virus biasanya berasal dari ekskreta ayam terinfeksi baik melalui pakan, air minum, lendir, feses, maupun udara yang tercemar virus, peralatan, dan pekerja kandang. Patogenisitas VND dipengaruhi oleh galur virus, rute infeksi, umur ayam, lingkungan, dan status kebal ayam saat terinfeksi virus. Selama sakit, ayam mengeluarkan virus dalam jumlah besar melalui feses (Rangga, 2002).



BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dibagi dalam tiga  kegiatan praktikum yaitu Anamnesa dilaksanakan pada tanggal 24 Oktober 2012  hari Rabu  pukul 16.00 WIB di Peternakan kambing, tembalang. Pemeriksaan feses dan pengamatan preparat parasit dilaksanakan pada tanggal 6 November 2012 hari Selasa pada pukul 16.00 WIB dan pemeriksaan kesehatan ayam dilaksanakan pada tanggal 27 november 2012 hari Selasa pukul 16.00 di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1.      Materi
            Materi yang diamati adalah ternak kambing dengan jumlah 2 ekor yaitu satu anakan dan satu indukan, feses kambing, preparat awetan ektoparasit dan endoparasit, ayam broiler. Alat-alat yang digunakan stetoskop untuk mengetahui denyut nadi, thermometer untuk mengukur suhu, tabung sentifuge untuk menghomogenkan feses, tabung reaksi untuk tempat sampel, kaca obyek untuk tempat sampel yang akan diamati dalam mikroskop, mikroskop untuk mengamati telur cacing pada feses, gunting untuk memotong saluran organ-organ, pisau untuk menyembelih ayam, nampan untuk tempat meletakkan organ-organ ayam, spuit untuk mengambil sampel darah, dan alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan.
3.2.      Metode
3.2.1.   Anamnesa
Menanyakan kondisi ternak kepada seseorang peternak yang merawat ternak tersebut. Pertanyaan berisi semua aspek yang menyangkut tentang peternakan, manajemen pemeliharaan dan kesehatan ternak tersebut.

3.2.2.   Pemeriksaan kesehatan
            Pada pemeriksaan kesehatan ternak hal yang dilakukan adalah mengamati tingkah laku ternak dari jarak jauh, seperti gerakan ternak, sikap berdiri, sikap berjalan, dan sikap dalam kelompok. Memeriksa fisik tubuh ternak, seperti kondisi bulu, permukaan tubuh, anggota gerak, lubang tubuh, dan gerakan nafas, meneliti ada tidaknya caplak pada ternak. Memeriksa kondisi fisiologis ternak, separti temperatur tubuh, kecepatan pernafasan, kecepatan nadi, detak jantung, kontraksi usus, kontraksi rumen, dan keadaan luka. Kemudian membuat kesimpulan sementara dari kondisi kesehatan ternak tersebut yang ditulis pada form yang disediakan.

3.2.3.      Pemeriksaan mikroskopis feses
            Praktikum pengenalan parasit dilakukan dengan cara mengamati dan mengambar parasit awetan baik endoparasit maupun ektoparasit.
Pemeriksaan  feses dengan metode natif yaitu dengan mengambil sedikit feses yang telah dicampur dengan aquades dan menaruhnya di atas obyek glass, kemudian ditetesi air. Selanjutnya menutup obyek glass dengan kaca penutup dan mengamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10.
Pemeriksaan feses dengan metode sentrifuge yaitu dengan mengambil 2 gram feses menaruhnya dalam mortir, menambahkan sedikit dan mengaduknya sampai larut. Menuangkan kedalam tabung sentifuse sampai 3/4 tabung kemudian memutarnya dengan alat sentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Membuang cairan jernih diatas endapan. Menuang NaCl jenuh diatas endapan sampai ¾ tabung dan mengaduknya sampai tercampur merata. Memutar lagi dengan alat sentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Meletakkan tabung sentrifuse tadi diatas rak. Meneteskan NaCl jenuh Diatas cairan dalam tabung sampai permukaan cairan menjadi cembung dan menunggunya selama 3 menit. Menempelkan obyek glass pada permukaan yang cembung dengan hati-hati, kemudian dengan cepat membalikkan obyek glass tersebut. Menutup obyek glass dengan kaca penutup dan memeriksa dengan mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. Metode yang dilakukan saat nekropsi ayam yaitu dengan mengamati performans ayam hidup, mengambil sampel darah ayam tersebut, kemudian menyembelih ayam tersebut dan mengamati kondisi dalam tubuh ayam tersebut.

3.2.4.      Pemeriksaan kesehatan unggas (broiler)
Praktikum nekropsi dilakukan dengan cara mematikan ayam yang diduga sakit, kemudian mengamati permukaan bagian luar dan membedah rongga tubuh untuk mengamati dan mengidentifikasi organ dalam unggas yaitu organ pencernaan, organ reproduksi, organ pernafasan dan organ-organ lain seperti jantung, hari, pankreas, ginjal, bursa fabrisius, trakea, paru-paru, syaraf. Mencatat kelainan yang ada di organ-organ tersebut pada lembar pengamatan.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.              Kondisi  Peternak Rakyat
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil sebagai berikut :

Description: D:\Digicam\102___10\IMG_1605.JPG
Ilustrasi 1. Proses Anamnesa
       Sumber : Data Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Berdasarkan hasil wawancara teknik anamnesa diperoleh data pemilik peternakan bernama Bapak Suwarno, yang berada di jalan Banjarsari, Tembalang Selatan. Pendidikan yang ditempuh Pak Suwarno hanya sampai lulus Sekolah Dasar (SD). Awal mula beternak sekitar tahun 2012, memiliki 1 ekor kambing Jawa Randu dan 2 anakan.
            Teknik anamnesa digunakan untuk mengetahui ternak tersebut sakit atau sehat, teknik anamnesa dilakukan dengan menanyakan langsung kepada perawat ternak. Berdasarkan hasil wawancara anamnesa dengan Bapak Suwarno dapat disimpulkan bahwa perlu adanya perhatian khusus dalam pemeliharaan kambing agar kambing yang di pelihara dapat hidup sehat dan normal karena banyak faktor yang menyebabkan ternak sakit. Kambing milik bapak Suwarno mengalami sakit kudis karena kandang tidak pernah dibersihkan.Hal ini sesuai dengan pendapat Ludgate (2006) yang menyatakan bahwa anamnesa yaitu suatu cara untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak dengan cara menanyakan pada pemilik ternak yang meliputi permasalahan serta hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan ternak. Hal tersebut didukung oleh pendapat Subronto (2003) yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan hewan sakit antara lain faktor mekanis, termis, kekurangan nutrisi, pengaruh zat kimia, dan faktor lingkungan.

4.1.1.   Pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak
            Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil sebagai berikut :
Description: D:\Digicam\102___10\IMG_1602.JPG
       Ilustrasi 2.Kondisi Lingkungan Peternakan Rakyat
         Sumber : Data Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
            Berdasarkan pengamatan di lokasi peternakan Bapak Suwrano dapat diperoleh hasil bahwa jarak kandang dengan rumah adalah 15 meter, sumber air berasal dari sungai, tidak ada saluran pembuangan feses, terdapat tanaman pohon pisang dan pohon singkong disekitar kandang, kandang dan perlengkapannya kurang memenuhi syarat antara lain, arah kandang menghadap utara selatan, atap kandang terbuat dari seng, sirkulasi kandang kurang baik, jarak antar kandang terlalu dekat, alas kandang dan konstruksi kandang. Kandang tersebut kurang sesuai untuk menunjang produktivitas ternak. Hal ini didukung oleh Sitepoe (2008) yang menyatakan bahwa kandang bagi ternak merupakan sarana yang sangat diperlukan, kandang bukan hanya sebagai tempat tinggal saja tetapi kandang harus dapat melindungi dari segala aspek dari luar yang menimbulkan gangguan.  Adapun syarat kandang yang baik antara lain memberi kenyamanan pada sapi, memenuhi persyaratan bagi kesehatan sapi, memiliki ventilasi udara yang baik dan mudah dibersihkan. Hal ini ditambahkan oleh  Rianto (2004) yang mengatakan bahwa perkandangan sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak domba dan kambing yang dipelihara, kandang berguna untuk melindungi ternak(misalnya panas, hujan, angin, binatang buas,  dan lain-lain), memudahkan pemeliharaan dan pengawasan sehari-hari, dan memudahkan pengumpulan kotoran (sehingga kebersihan kotoran dapat terjaga dan kotoran dapat digunakan sebagai pupuk organik).




Ilustrasi 3.Kondisi Kandang Peternakan Rakyat
  Sumber : Data Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Berdasarkan pengamatan bangunan kandang yang perlu diperhatikan yaitu atap, lantai, tempat pakan minum.Selain itu yang perlu diperhatikan adalah arah kandang, ventilasi, atap, dinding, dan lantai kandang. Berdasarkan pengamatan pada saat praktikum, atap kandang tidak sesuai yaitu menggunakan seng, lantai kandang tidak dibuat miring. Kandang peternakan Bapak Suwarno tidak disesuaikan dengan lingkungan yang bersuhu relatif tinggi sehingga ventilasi kandang dibuat lebar yang menyebabkan banyaknya sinar matahari yang masuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Rianto (2004) yang menyatakan bahwa atap kandang berguna untuk menghindarkan ternak dari air hujan dan terik matahari serta menjaga kehangatan pada malam hari. Bahan atap dapat dibuat dari genteng, ilalang, daun kelapa atau daun tebu. Atap kandang hendaknya dibuat miring sekitar 30o, agar air hujan dapat lancar mengalir, ketinggian atap hendaknya tidak terlalu rendah agar kandang tidak terlalu panas. Pendpula oleh pat ini diperkuat oleh Sugeng (2000) yang menyatakan bahwa dinding berfungsi sebagai pembatas angin, penahan keluar masuknya udara  dari kandang. Bahan yang digunakan untuk membuat dinding adalah anyaman bambu, papan dan batu bata.

Description: H:\BlackBerry\camera\IMG-20121216-00304.jpg
Ilustrasi 4.Kondisi Pakan Peternakan Rakyat
  Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan bahwa pakan yang diberikan pada ternak adalah pakan hijauan yang didapat dari tanah lapang atau ladang berupa rumput lapang dan dedaunan. Waktu pemberian pakan oleh peternak terhadap ternaknya secara ad libitum. Ternak tersebut selalu dikandangkan tanpa penggembalaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sonjaya (2010) yaitu salah satu faktor yang utama adalah makanan, di samping faktor genetis dan manajemen pemberian pakan yang cukup. Pendapat ini di tambahkan oleh Rianto (2004) yang menyatakan bahwa pakan merupakan faktor penting dalam menunjang produksi yang maksimal.




4.1.2    Tata laksana ternak (pemeliharaan)
            Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil sebagai berikut :

Description: H:\BlackBerry\camera\IMG-20121216-00300.jpg
Ilustrasi 5.Tata Laksana Pemeliharaan
      Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak


Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa ternak dipelihara dikandang dengan tujuan agar mempermudah peternak dalam proses pemeliharaan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Rianto (2004) yang menyatakan bahwa kandang berfungsi untuk melindungi ternak, tempat istirahat ternak, mengontrol ternak, dan memudahkan pelaksanaan pemeliharaan. Ternak yang dipelihara oleh bapak Suwarno memiliki riwayat penyakit pada kulit yaitu kudikan. Tanda sakit yang terlihat pada ternak adalah adanya luka di sekitar permukaan kulit, dan tidak lincah. Pencegahan yang dilakukan agar kambing terjaga kesehatannya maka peternak harus  melakukan sanitasi kandang secara teratur dan membersihkan tubuh ternak secara teratur. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (2000) yang menyatakan bahwa kesehatan ternak bisa dicapai dengan tindakan hygiene, sanitasi lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan dan teknis yang tepat.
4.2.              Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil sebagai berikut :

                                Ilustrasi 6.Pengamatan Tingkah Laku
   Sumber : Data Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwa ternak yang diamatai yaitu kambing etawa dengan jenis kelamin betina 2 ekor dan jantan 1 ekor. Umur ternak yaitu 1,5 tahun sebanyak 1 ekor dan 3 bulan 2 sebanyak 2 ekor. Aktivitas ternak baik induk dan anak tidak begitu aktif, hal ini dikarenakan luka yang terdapat di permukaan kulit. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Rianto (2004) yang mengatakan bahwa ternak yang sehat akan bergerak secara aktif dan memiliki nafsu makan yang tinggi. Ternak yang diamati berjalan dengan tidak tegap karena terdapat luka pada sendi keempat kakinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sitepoe (2008)  yang menyatakan bahwa ternak sehat akan berdiri dengan tegap dan berjalan lincah. Menambahkan pula Sonjaya (2010) bahwa kambing yang sehat kelihatan tegap. Keempat kaki memperoleh titik berat sama. kambing yang terus–menerus tiduran memberikan kesan bahwa kambing tersebut sakit atau mengalami kelelahan. kambing peka terhadap lingkungan. Jika ada orang yang mendekatinya, ia akan cepat bereaksi, yakni cepat berdiri. Mula–mula yang berdiri adalah kaki belakang, kemudian membungkukkan punggung dan menggerak–gerakkan kulit sambil memperhatikan sekitarnya. Bila akan diberi makan atau air minum, mulutnya akan dipenuhi oleh pakan dan cara minumnya panjang–panjang.

Description: H:\BlackBerry\pictures\images.jpg

Ilustrasi 7.Pemeriksaan Fisik Ternak
        Sumber : Data Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan bagian tubuh ternak yang nampak sakit pada induk terdapat luka di daerah mulut, sendi dan kuping dan pada anakan tidak ada. Kondisi kesehatan ternak berdasarkan fisiknya dapat dilihat pada permukaan kulit induk dan anak tampak kotor. Hal ini akan mempengaruhi produksi ternak karena nafsu makan dan minum menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Ludgate (2006) taraf  kesehatan ternak terlihat dari permukaan kulit yang halus, bersih dan mengkilat serta nafsu makan tinggi.
Pemeriksaan fisik meliputi bagian tubuh yang sakit, pengaruh penyakit tersebut terhadap ternak, dan cara pengobatan yang telah dilakukan. Frekuensi nafas yang tinggi dan gambaran frekuensi nafas yang menurun seiring dengan bertambahnya umur. Frekuensi pulsus normal pada kambing dewasa di daerah tropis sebesar 70-80 kali/menit. Ditemukan frekuensi pulsus yang tinggi selama masa menyusu dan kemudian mengalami penurunan seiring seiring dengan pertambahan umur.
Temperatur tubuh yang didapat dari ternak kambing adalah 370C, sedangkan gerakan rumennya sebanyak 3 kali per 2 menit. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Sonjaya (2010)  yang menyatakan bahwa suhu tubuh rektal pada pada kambing muda berada pada level 38,76oC-39,44oC dan pada kambing dewasa 39,4oC, frekuensi nafas yang normal dijumpai yakni pada kisaran 10-20kali/menit dan gerak rumen 5 kali/menit. Menambahkan juga Sugeng (2000) untuk mengetahui kesehatan sapi secara umum, peternak bisa memperhatikan keadaan tubuh, sikap dan tingkah laku, frekuensi pernafasan, denyut jantung, pencernaan, dan pandangan kambing. kambing yang sehat keadaan tubuhnya tampak bulat berisi dengan kulit lemas tidak kaku, mudah dilipat yang bila dilepas lipatannya cepat merata kembali pada keadaan semula, mudah dan bebas digeser – gesser. Selain itu, bulunya licin dan mengkilat. Selaput lendir mulut dan gusi berwarna merah muda, lidah mudah bergerak secara bebas. Ujung hidung bersih, basah, dan dingin. Hidung kambing yang kering menunjukkan bahwa kambing itu menderita panas tubuh akibat suatu infeksi.




4.3.              Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Feses
4.3.1.        Metode natif
Berdasarkan hasil praktikum pada pemeriksaan feses dengan metode natif, telur cacing pada metode ini tidak terlihat. Hal ini dikarenakan berat jenis telur dalam feses lebih besar dibanding berat jenis air, sehingga telur tidak dapat memisah dari feses dan muncul ke permukaan (mengapung). Pada dasarnya metode ini memang lebih praktis, tetapi metode ini hanya dengan bantuan air saja, tanpa NaCl maka tidak semua telur cacing dapat mudah mengapung. Hal ini sesuai dengan pendapat Hernasari (2011) yang menyatakan bahwa metode natif lebih praktis digunakan pada pemeriksaan endoparasit pada sampel feses. Mashur (2001) menambahkan bahwa semakin kecil berat jenis telur cacing maka semakin besar daya apung telur cacing pada NaCl jenuh.


















4.3.2.        Metode sentrifuse
Berdasarkan pengamatan terhadap feses anakan kambing dengan metode sentrifuse, berikut merupakan hasil pengamatan yang diperoleh :







Description: Trichostrongylus_spp
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: http://www.google.co.id/imgres?q =Trichostrongylus+spp&num
Ilustrasi 8. Trichostrongylus sp

Berdasarkan praktikum telah ditemukan cacing Trichostrongylus sp merupakan cacing nematoda. Beberapa jenis cacing nematoda yang banyak terdapat pada domba dan kambing di Indonesia, di antaranya adalah Haemonchus spp., Trichostrongylus spp., Cooperia spp., Oesophagostomum spp. dan Bunostomum spp.  Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad (2002) bahwa cacing nematoda saluran pencernaan adalah sekelompok cacing yang berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya meruncing, dan menginfeksi saluran pencernaan ternak ruminansia. Siklus hidup dimulai dari telur yang dikeluarkan melalui feses manusia atau hewan, kemudian hidup di tanah dan bercampur dengan rumput lalu rumput tersebjt dimakan oleh ternak dan kembali hidup di dalam perut ternak tersebut, begitu seterusnya. Gejala klinis yang bisa diamati adalah ternak muda terlihat pertumbuhan terhambat, mencret dengan warna tinja hijau kehitaman, kurus dan diakhiri kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnstone (2000) yang menyatakan bahwa disruption caused by gastrointestinal nematode worm attacked a decrease in body weight gain and the incidence of death, especially in young animals.

4.4.              Pengamatan Preparat Parasit
Berdasarkan pengamatan parasit yang dilakukan ada dua macam parasit yaitu endoparasit dan ektoparasit. Parasit yang termasuk endoparasit diantaranya yaitu Haemonchus contortus, Oesophagostamum, Moniezia sedangkan jenis parasit ektoparasit yaitu Sarcophaga sp.  dan Tabanus rubidus. 












4.4.1.   Ektoparasit
4.4.1.1. Sarcophaga sp, berikut merupakan hasil dari pengamatan terhadap preparat awetan parasit, golongan ekstoparasit     :







Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Ilustrasi 9. Sarcophaga sp
            Berdasarkan hasil praktikum pengeamatan preparat parasit diamati jenis ektoparasit yaitu Sarcophaga sp. merupakan salah satu jenis ektoparasit yang ukuran tubuh Sarcophaga sp.11-15 mm, berwarna abu-abu, bagian toraks terdapat 3  garis hitam, abdomen memiliki pola bintik-bintik hitam dan abu-abu seperti papan catur, struktur mulutnya tipe penjilat dan aristanya berambut pada setengah bagian frontal sedangkan sebagian distalnya tidak berambut.  Daur hidup Sarcophaga sp. dengan metamorfosa sempurna melalui 4 tahapan yaitu, telur, larva, pupa, dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan waktu 12-15 hari tergantung pada suhu, kelembapan dan jenisnya. Habitat Sarcophaga sp adalah sampah, tinja dan dapur yang memproduksi makanan dalam jumlah besar. Siklus hidup lalat memerlukan waktu sekitar lima belas hari. Dalam hidupnya seekor lalat betina mampu bertelur 5-6 kali dengan 100-150 butir untuk setiap kalinya, atau 500–900 butir sepanjang hidupnya. Hal ini sesuai dengan pendapat kadarsan (2000) yang menyatakan bahwa kemampuan reproduksi akan meningkat jika berada  pada lingkungan yang sesuai, terutama banyak bahan organik yang membusuk seperti sampah, tinja, dan bangkai. Kepadatan lalat akan sangat tinggi di tempat-tempat pembuangan sampah, pasar dan dapur yang memproduksi makanan dalam jumlah besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Carter dan Wise (2004) yang menyatakan bahwa density and spread of flies strongly influenced by the reaction to light, temperature and humidity, as well as the color and surface texture.










4.4.1.2. Tabanus rubidus, Berikut merupakan hasil dari pengamatan terhadap preparat awetan parasit, golongan ekstoparasit     :







Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Ilustrasi 10. Tabanus rubidus
Berdasarkan hasil praktikum pengeamatan preparat parasit diamati jenis ektoparasit yaitu Tabanus rubidus yang memiliki ukuran tubuh lebih besar berwarna coklat merupakan ordo dari Dipteria, Familinya Tabanidae, dan spesiesnya Tabanus rubidus. Tabanus rubidus merupakan salah satu jenis parasit dari ektoparasit yang memiliki ciri badan bentuk, buku, memiliki jarum dimulut dan memiliki sayap. Tabanus sp memiliki mulut seperti gunting yang bertujuan untuk memotong kulit dan kemudian untuk meminum darah. Parasit ini suka binatang kambing. Hal ini sesuai pendapat Hadi (2000) bahwa Tabanus suka binatang kambing dan tidak terlalu berbahaya bagi manusia. Kadarsan (2000) menambahkan bahwa Telur tabanus sp. Berbentuk lonjong diletakkan secara berkelompok menempel pada permukaan bawah daun atau batang tanaman yang tumbuh ditempat-tempat yang berair. Pemberantasan tabanus sp dapat dilakukan terhadap tabanus dewasanya maupun semasa masih menjadi telur. Penyemprotan dengan insektisida terhadap yang dewasa dianggap cukup efektif. Selain itu memberantas tempat perkembangbiakannya dapat juga dilakukan supaya telur-telur tidak dapat menetas. Cara penanggulangan parasit dengan penyemprotan secara langsung ke ternak yang terinfeksi untuk menekan perkembangan parasit tersebut, menaburkan sulfur ke ats litter atau ke dalam sarang dengan dosis 30 g/m2. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2005) bahwa mengontrol parasit eksternal khususnya ektoparasit Tabanus rubidus dapat dilakukan dengan cara-cara antara lain menyemprotkan obat secara langsung ke parasit sampai ke persembunyiannya, melakukan penyemprotan secara langsung ke ternak yang terinfeksi untuk menekan perkembangan parasit tersebut, menaburkan sulfur ke ats litter atau ke dalam sarang dengan dosis 30 g/m2.


















4.4.2.        Endoparasit
4.4.2.1.   Oesophagostamum, Berikut merupakan hasil dari pengamatan terhadap preparat awetan parasit, golongan endoparasit:




Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : cal.vet.upenn.org
Ilustrasi 11. Oesophagostamum
Berdasarkan pengamatan parasit awetan diperoleh cacing Oesophagostamum. Cacing ini berkembang di dalam usus ternak ruminansia.Hal ini sesuai dengan pendapat Kadarsan (2000) yang menyatakan bahwa cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar. Oesophagostamum disebut cacing bungkul karena bentuk larva cacing ini dapat menyebabkan bungkul-bungkul di sepanjang usus besar. Ukuran rata-rata cacing bungkul dewasa betina antara 13,8 – 19,8 mm dan Jantan antara 11,2 – 14 5 mm. Akibat dari infeksi cacing ini yaitu terjadi pendarahan dalam usus yang menyebabkan terganggunya pencernaan makanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (2000) yang menyatakan bahwa gejala klinis yang disebabkan cacing Oesophagostamum antara lain kambing kurus, napsu makan hilang, pucat, anemia dan kembung. Tinja berwarna hitam, lunak bercampur lendir atau darah segar. Pencegahan selain menggunakan obat cacing (antelmintik) juga dilakukan manajemen penggambalaan. Siklus hidup cacing ini adalah babi yang banyak terinfeksi cacing ini dengan memakan telur yang dikeluarkan oleh ruas cacing dewasa lewat kotoran manusia dan mereka membentuk siste yang berwarna putih susu dengan panjang ± 1 cm yang terletak pada otot-otot ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Larsen (2000) yang menyatakan bahwa besides giving antelmintik, control is mostly done with grazing management and the addition of supplementary feed such as molasses on feed.













4.4.2.2. Moniezia, Berikut merupakan hasil dari pengamatan terhadap preparat awetan parasit, golongan endoparasit:


Description: moniezadult
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
q=moniezia+sp&num



Ilustrasi 12. Moniezia sp.

Berdasarkan pengamatan parasit awetan diperoleh cacing Moniezia. Cacing ini banyak ditemukan didalam dinding usus dan menginfeksinya filli usus sehingga pencernaan terganggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnstone (2000) yang menyatakan bahwa moniezia sp worms usually infects cattle aged under six months and caused abnormalities were generally mild and did not distinguish, in severe infections caused weakness, diarrhea (due to irritation by worms proglotid) or konstivasi (due to blockage of the intestines by worms), convulsions (seizures ). Cacing jenis ini dapat diobati dengan obat Copper sulphate dan Nicotine sulphate. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (2000) yang menyatakan bahwa campuran Copper sulphate dengan Phenothiazine atau Nicotine sulphate atau ketiganya dengan perbandingan 1 : 10 : 100 setiap hari selama musim merumput. Albendazole 10 mg/kg , Fembendazole 5 mg/kg, Cambendazole 20 mg/kg, Oxfendazole 5 mg/kg, Fraziquantel 15 mg/kg, Bunamidine hydroxynapthoate 25-50 mg/kg, Niclosamide 75-150 mg/kg. Niclosamide, Praziquantel, benzimidazole. Sulfas cupricus 1% diberikan sebanyak 10 – 100 ml,  Sulfas cupricus dicampur dengan Nicotin, Yomesan 75 mg/kg berhasil baik. Menambahkan pula Kadarsan (2000) bahwa siklus hidup Moniezia dimulai dari proglotid yang masak penuh dengan telur dan keluar dari tubuh melalui kotoran dan berpotensial infective dalam beberapa bulan. Untuk menjadi invektive terhadap kambing maka telur harus termakan oleh tungau yang hidup di tanah atau rumput. Telur yang sudah termakan akan mengalami siklus hidupnya pada tubuh tungau secara lengkap. Kemudian tungau akan termakan oleh kambing ketika kambing sedang merumput, telur terbebas dari tubuh tungau di usus kambing dan berkembang menjadi cacing dewasa.


4.4.2.3.     Fasciola gigantica, Berikut merupakan hasil dari pengamatan terhadap preparat awetan parasit, golongan endoparasit:


Description: images_012
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak , 2011
www.google.com
Ilustrasi 13. Fasciola gigantica

            Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa ciri-ciri Fasciola gigantica adalah berwarna coklat abu-abu, bening, berbentuk pipih dan panjang serta mempunyai sebuah penghisap di bagian depan dan sebuah lagi di bagian bawah tubuhnya. Cacing ini dapat menyebabkan infeksi hati. Hal ini didukung oleh pendapat Subronto (2003) ysng menyatakan bahwa infeksi oleh cacing Fasciola gigantica menyebabkan keruksakan hati serius dalam bentuk fibrosis, dan anemia pada sapi, kerbau, dan domba maupun kambing. Invasi campuran fasciola dan nematoda dapat mengakibatkan cacingan akut pada domba dan kambing. Hal ini didukung pula oleh pendpat Tabbu (2000) yang menyatakan bahwa jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam feses akan mengalami kesulitan dalam mendiagnosa, dan telur tidak akan ditemukan sampai cacing hati mulai produksi telur biasanya antara minggu ke 10-14 setelah hewan diinfeksi Fasciola g. siklus hidup cacing Fasciola gigantica telur yang dikeluarkan oleh parasit dewasa pada saluran empedu, keluar melalui kotoran dan sampai pada organisme yang berair, kemudian menetas dalam waktu 10 hari atau lebih, lalu memasuki siput yang cocok dan mengalami perkembangbiakan aseksual dan sangat aktif menempel pada daun-daunan.

4.5.            Pemeriksaan Kesehatan Ayam (Broiler)
Pemeriksaan kesehatan ternak unggas dilakukan dengan metode nekropsi, tujuan dari nekropsi adalah memeriksa kondisi fisik ternak dengan mengamati dari luar yaitu permukaan tubuhnya dan pengamatan dari dalam dengan dibedah. Ayam yang diamati berasal dari RPPU Penggaron dan berjenis kelamin betina berumur 3 minggu. Kondisi ayam yang akan diteliti memiliki aktifitas yang aktif tetapi badannya kurus. Riwayat kesehatan yang sebelumnya belum pernah sakit, pernah divaksin dan tindakan peternak lain yaitu pemberian vitamin untuk unggas tersebut.


4.5.1.   Pengamatan performans unggas
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil sebagai berikut :

Description: E:\ay broiler 2.jpg
Ilustrasi 14. Kondisi fisik luar (eksterior) ayam
Sumber : Data Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Dari hasil pengamatan pada unggas didapatkan bahwa ternak tersebut sehat, tidak ada tanda kecacatan pada tubuh ternak bagian luar. Tingkah lakunya aktif dan nafsu makan tinggi. Selain itu pencegahan penyakit dilakukan secara rutin di RPPU Penggaron. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al., (2008) yang menyatakan pencegahan penyakit pada pemeliharaan ternak unggas lebih utama dibandingkan pengobatan sebab biaya untuk pencegahan lebih murah dibandingkan dengan biaya pengobatan. Ciri-ciri ayam yang sehat yaitu konsumsi pakan dan air minum normal, kotoran normal tidak encer, giat melakukan aktivitas, bersuara normal, temperatur tubuh normal, denyut jantung normal, pernafasan normal.


4.5.2.   Pengambilan darah
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan didapat hasil pengambilan darah unggas sebagai berikut:



Description: D:\IKT\26112011393.jpg
 








Description: D:\n5233\IKT\5012033427_d165314ffd.jpg







Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber:http://farm5.static.flickr.com
Ilustrasi 15. Pengambilan darah
Pengambilan darah dilakukan dibagian sayap ayam yang di teliti dengan cara penyuntikan. Darah diambil dari Vena Bracialis dengan menggunakan spuit 3cc, kemudian dimasukin dalam tabung gelas dan disimpan selama setengah jam untuk diamati. Perubahan yang terjadi yaitu terbentuk serum, terdapat pemisahan antara cairan berwarna kuning dan cairan dibagian bawah, dengan sampel darah ini dapat diteliti penyakit apa yang menyerang ayam yang diamati. Hal ini sesuai dengan pendapat Sonjaya (2010) yang menyatakan bahwa pengambilan darah (venesectio) merupakan salah satu hal yang terpenting dari kegiatan peternakan.
Tujuan pengambilan darah ternak yaitu untuk mengetahui tingkat kadar suatu zat yang terkandung dalam darah ternak tersebut. Pengambilan sampel darah ternak dapat juga di gunakan untuk mengidentifikasi suatu penyakit yang menyerang atau diderita ternak tersebut. Rianto (2004) menambahkan bahwa pengambilan sampel darah pada ternak tidak bisa di lakukan dengan cara sembarangan, di perlukan kecermatan dan ketelitian yang tinggi, karena apabila terjadi kesalahan maka darah tidak akan terhisap keluar dan apabila tidak dilakukan dengan cara yang benar maka akan menimbulkan sakit pada hewan yang diambil sampel darahnya.

4.5.3.   Nekropsi
Berdasarkan praktikum pemeriksaan kulit ayam yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:

Description: D:\IKT\26112011394.jpg
Description: D:\n5233\IKT\200808131717_kulit ayam.jpg







Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Ilustrasi 16. Permukaan kulit ayam
Berdasarkan hasil praktikum nekropsi atau pembedahan ayam untuk mendiagnosis atau mengidentifikasi suatu penyakit yang menginfeksi ayam tersebut dengan melihat perubahan pada organ tersebut diperoleh hasil bahwa kondisi kulit ayam normal dan tidak terjadi perubahan pada kulit ayam tersebut. Kulit bersih, basah mengkilat, tidak kering, warna cerah, tidak ada luka, tidak bengkak, dan berbau khas ayam, sehingga dapat dikatakan dari pengamatan permukaan kulit bahwa ayam tersebut terlihat masih sehat dari permukaan / luar. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al., (2008) bahwa permukaan kulit pada unggas yang sehat berwarna cerah, mengkilat dan  tidak  kering, permukaannya bersih, dan tidak ada luka atau benjolan-benjolan yang sangat menonjol. Menambahkan Fadilah dan Polana (2005) bahwa bedah bangkai harus dilakukan setiap hari jika ada ayam yang mati atau ayam yang dimatikan karena dicurigai terjangkit suatu penyakit.


4.5.4.   Pemeriksaan isi rongga perut dan rongga dada
Berdasarkan praktikum pemeriksaan isi rongga perut dan rongga dada yang telah dilaksanakan didapat hasil nekropsi unggas sebagai berikut:

Description: D:\IKT\26112011399.jpg
Description: D:\n5233\IKT\15 feb 2011 038.JPG







Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.    
Ilustrasi 17. Isi rongga dada dan perut
Berdasarkan hasil praktikum nekropsi pada pengamatan rongga dada dan perut diperoleh hasil bahwa isi rongga dadanya bersih tidak terlalu banyak gumpalan lemak di dalamnya. Isi rongga perut juga bersih dan kering, kantong udara bersih, tidak keruh, dan tidak berdarah. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2004) bahwa pada rongga dada terdapat organ-organ pernafasan yang terdiri dari paru-paru, kantong udara, trakea. Menambahkan Fadilah dan Polana (2005), kantong udara merupakan tempat penyimpanan udara yang masuk dan rentan juga penyakit akibat virus ikut masuk bersamaan dengan masuknya udara. Mencegah penyakit pada saluran pernafasan bisa dengan menjaga litter agar tetap kering, menghindari kandungan amonia yang tinggi, menjaga agar debu di dalam kandang tidak terlalu banyak, sebaiknya tidak membakar sampah di samping kandang.

4.5.5.   Pemeriksaan saluran pencernaan
Berdasarkan praktikum pemeriksaan saluran pencernaan yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:

Description: D:\IKT\Foto1165.jpg
Description: D:\n5233\IKT\DSC03338.JPG







Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: http://gemilang.blogspot.com
Ilustrasi 18. Saluran pencernaan ayam
Berdasarkan hasil praktikum pada pengamatan terhadap kesehatan ayam broiler, diketahui bahwa ayam broiler mempunyai penyakit Newcastle Disease (ND). Hal tersebut ditandai dengan adanya bercak merah  pada usus halus, hidung dan laring berlendir dan mata meradang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suprijatna et al. (2008) yang menyatakan bahwa gejala penyakit Newcastle Disease yaitu gejala kelainan saluran pernapasan(batuk, ngorok, susah bernapas, keluar lendir dari hidung), nafsu makan hilang, feses berwarna hijau dan kadang-kadang disertai gumpalan putih, gemetaran pada seluruh tubuh, gejala kelainan syaraf (kelumpuhan pada kaki dan atau sayap, leher terpuntir dan ayam berputar-putar), pendarahan pada saluran pencernaan. Penularan penyakit tersebut dapat ditularkan secara langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Rangga (2002) yang menyatakan bahwa penularan VND dapat terjadi secara langsung antar ayam dalam satu kelompok ternak tertular. Sumber virus biasanya berasal dari ekskreta ayam terinfeksi baik melalui pakan, air minum, lendir, feses, maupun udara yang tercemar virus, peralatan, dan pekerja kandang. Patogenisitas VND dipengaruhi oleh galur virus, rute infeksi, umur ayam, lingkungan, dan status kebal ayam saat terinfeksi virus. Selama sakit, ayam mengeluarkan virus dalam jumlah besar melalui feses.


4.5.6.   Pemeriksaan hati
Berdasarkan praktikum pemeriksaan hati yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:

Description: G:\IKT kelompok 9 baru\2012-11-27 15.27.00.jpg
Description: D:\n5233\IKT\45009846.JPG







Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber :http://vonsiddha.blogspot.com
Ilustrasi 19. Hati ayam
              Berdasarkan praktikum pemeriksaan hati diperoleh hasil bahwa ukuran hati normal, warnanya merah, konsistensi kenyal, kantong empedu normal, begitupun dengan limpha. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al.,(2008) bahwa hati ayam dalam kondisi sehat warnanya merah ukurannya normal sesuai umur ternak, tidak pucat, dan tidak ada bintik atau bengkak. Hati merupakan organ pencernaan tambahan yang mengahsilkan getah empedu yang penting untuk proses penyerapan lemak dan ekskresi limbah produk seperti kolesterol dan hasil sampingan degredasi hemoglobin. Menambahkan Suprijatna et al. (2008) bahwa ayam memiliki kantong empedu yang terdiri dari dua saluran.


4.5.7. Pemeriksaan jantung
Berdasarkan praktikum pemeriksaan jantung yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:

Description: D:\IKT\26112011402.jpg



Description: D:\n5233\IKT\colour_chicken_heart.gif
 







Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.     
Ilustrasi 20. Jantung ayam
Berdasarkan hasil praktikum nekropsi mengenai pemeriksaan jantung diperoleh hasil bahwa ukuran jantung ayam broiler normal, warnanya merahsegar, dan tidak ditemukan kelainan lain serta kedua sisi ukurannya sama. Hasil ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi jantung tersebut sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Jahja et al. (2006) yang menyatakan bahwa kondisi umum jantung yang sehat pada ayam antara lain berwarna coklat pucat, selaput jantungnya bersih, konsistensi kenyal, dan tidak ada pendarahan. Menambahkan bahwa Yuwanta (2004) jantung ayam memiliki empat ruang, yaitu dua atria dan dua ventrikel dimana semakin kecil ayam, semakin cepat pula denyutnya.


4.5.8.   Pemeriksaan ginjal
Berdasarkan praktikum pemeriksaan ginjal yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:


Description: G:\IKT kelompok 9 baru\2012-11-27 15.33.40.jpg

Description: D:\n5233\IKT\19072010719.jpg 









Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Ilustrasi 21. Ginjal ayam
Berdasarkan praktikum mengenai pemeriksaan ginjal diperoleh hasil bahwa ukuran dari ginjal yaitu ntidak simetris, warnanya tidak homogen. Ayam tersebut kondisi ginjalnya normal dan sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al. (2008) yang menyatakan bahwa  pada unggas terdapat dua buah ginjal yang bentuknya relatif besar memanjang, berlokasi di belakang paru-paru dan menempel pada tulang. Fadilah dan Polana (2011) menambahkan bahwa ginjal unggas terdiri dari banyak tubulus kecil atau nepron yang menjadi unit fungsional utama dari ginjal.
4.5.9. Pemeriksaan pankreas
Berdasarkan praktikum pemeriksaan pankreas yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:

Description: D:\IKT\Foto1165.jpg
Description: D:\n5233\IKT\3.7.08.DSC_0033 x750.jpg







Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kseshatan Ternak, 2012.
Ilustrasi 22. Pankreas ayam
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan pankreas diperoleh hasil bahwa ukuran pankreas normal, warna putih segar tidak pucat, dan tidak ada kelainan lain, sehingga dapat dikatakan keadaan pankreas ayam tersebut normal tidak cacat berdasarkan kondisi pankreas yang diamati. Hal ini sesuai dengan pendapat (Suprijatna et al., 2008) bahwa pankreas merupakan suatu kelenjar yang berfungsi sebagai kelenjar endokrin maupun sebagai kelenjar eksokrin, insulin, dan glukagon Fadilah dan Polana (2005). Bahwa pankreas merupakan organ pencernaan tambahan yang membantu dalam proses pakan sebagai saluran sekresi. Pankreas bertugas mensekresikan cairan-cairan yang diperlukan bagi proses pencernaan di dalam usus halus.

4.5.10. Pemeriksaan bursa fabrisius
Berdasarkan praktikum pemeriksaan bursa fabrisius yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:


Description: G:\IKT kelompok 9 baru\2012-11-27 15.26.38.jpg
                       


Description: D:\n5233\IKT\3.5.08.bDSC_0146 x750.jpg
 









Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.    

Ilustrasi 23. Bursa fabrisius ayam
Berdasarkan praktikum pemeriksaan bursa fabrisius diperoleh hasil bahwa ayam masih mempunyai atau terdapat bursa of fabrisius tetapi ukurannya sudah kecil karena seiring bertambahnya umur ternak, warnanya putih tidak pucat, dan isinya tidak ada. Ayam tersebut masih terdapat bursa fabrisius yang merupakan sistem kekebalan unggas yang berfungsi sebagai immunitas, sehingga ayam tersebut masih memiliki sistem kekebalan karena umur ayam tersebut sekitar 25 hari. Bursa fabrius ayam tersebut berbentuk seperti bunga. Hal ini sesuai dengan pendapat Jahja et al. (2006) yang menyatakan bahwa bursa fabrisius berbentuk seperti bunga. Menambahkan Yuwanta (2004) bahwa bursa fabrisius merupakan tempat berkumpulnya sebagian besar sel limfosit B yang belum matang (immature).

4.5.11. Pemeriksaan trakea
Berdasarkan praktikum pemeriksaan trakea yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:

Description: G:\IKT kelompok 9 baru\2012-11-27 15.38.40.jpg
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: http://maria.blogspot.com.
Ilustrasi 24. Trakea ayam
Berdasarkan praktikum pemeriksaan trakea diperoleh hasil bahwa trakea pada ayam berwarna putih dan bersih. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al. (2008) yang menyatakan bahwa trakea berbentuk seperti selang merupakan saluran pernafasan pertama yang tersusun atas tulang rawan yang berbuku-buku. Jahja et al. (2006) menambahkan bahwa kondisi trakea ayam  tersebut adalah  normal, berwarna putih, dan ukurannya kecil.


4.5.12. Pemeriksaan paru-paru
Berdasarkan praktikum pemeriksaan paru-paru yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:

Description: D:\IKT\Foto paru2.jpg



Description: D:\n5233\IKT\3.4.08.2DSC00060 x750.jpg
 







Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.     
Sumber: http://vet.cornell.edu.
Ilustrasi 25. Paru – paru ayam
              Berdasarkan praktikum mengenai pemeriksaan paru-paru diperoleh hasil bahwa warna dari paru-paru yaitu merah muda dengan konsistensi kenyal, ukurannya normal dan relatif kecil sebanding dengan ukuran tubuhnya dan terapung bila dilakukan uji apung. Hal ini menujukkan bahwa paru-paru ayam tersebut masih dalam kondisi normal dan sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al. (2008) yang menyatakan bahwa paru-paru ayam relatif lebih kecil secara proporsional dengan ukuran tubuhnya. Paru-paru tersebut mengembang dan berkontraksi hanya sedikit. Menambahkan Jahja et al. (2006) paru – paru yang sehat berwarna merah dan tidak mudah rapuh atau kenyal.


4.5.13. Pemeriksaan saraf
Berdasarkan praktikum pemeriksaan  saraf yang telah dilaksanakan didapat hasil sebagai berikut:


Description: D:\IKT\26112011395.jpg


Description: G:\IKT MANTAP\IKT FOTO PRAKTIKUM\26112011396.jpg

 
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.    
Ilustrasi 26. Saraf ayam
Berdasarkan praktikum pemeriksaan saraf diperoleh hasil bahwa warna dari saraf yaitu putih, ukurannya normal dan tidak ada kelainan atau kebengkakan. Hal ini memunjukkan bahwa sistem saraf ayam tersebut masih dalam kondisi yang sehat, normal, belum menunjukkan adanya penyakit yang menginfeksinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al. (2008) yang menyatakan bahwa saraf pada unggas berbentuk memanjang putih dan  merupakan satu kesatuan yang dapat mengontrol semua fungsi pada tubuh. Menambahkan Yuwanta (2004) bahwa sistem saraf dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf otak atau somatik yang bertanggung jawab terhadap gerakan tubuh pada kondisi sadar dan  sistem saraf  otonom yang bertanggung jawab dalam koordinasi gerak dibawah sadar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan kesehatan ternak yang ada di peternakan rakyat tidak cukup baik, belum ada program pencegahan penyakit. Kondisi fisiologis ternak tidak cukup baik dan tidak sesuai kondisi normal, karena kambing mengalami penyakit kulit berupa penyakit kudikan. Anakan kambing terdapat telur cacing Trichostrongylus sp. Parasit dapat mengganggu kesehatan ternak dan kadang dapat menyebabkan kematian. Pengamatan preparat awetan parasit dihasilkan beberapa awetan parasit yaitu Oesophagostamum, Fasciola g., Moniezia, Sarcophaga dan Tabanus rubidus. Pemeriksaan kesehatan unggas terdiri dari pemeriksaan luar tubuh dengan cara pengamatan dan dalam tubuh dengan cara pembedahan, dengan pembedahan ini diketahui bahwa ayam sudah terjangkit penyakit ND yang ditandai dengan bintik merah pada bagian proventrikulus dan usus halus.

5.2.      Saran
Berjalannya praktikum sudah baik tetapi waktunya terkadang telat sehingga pelaksaan praktikum tergesa-gesa dan pengamatannya pun kurang teliti. Pelaksaan praktikum harus sesuai waktu yang ditentukan sehingga praktikum akan berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
 

Ahmad. 2002. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Benjamin. 2008. ”Lymnaea”. http://www.scholarpedia.org/article/Lymnaea#  The_biology_of_Lymnaea. Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 19.00 WIB.
Carter, G.R. and Wise, D.J., 2004. Essentials of Veterinary Bacteriology and Mycology 6th Edition, Iowa S.
Fadhilah, R dan Agustin, P. 2005. Aneka Penyakit Pada Ayam dan Cara Mengatisnya. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Hadi, U. K dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=oesophagustamum. Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 20.00 WIB.
http://www.google.co.id/imgres?q=fHaemonchus contortus . Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 20.00 WIB.
http://www.google.co.id/imgres?q=moniezia=+sp. Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 20.00 WIB.
Ipteknet. 2008. “Fasciola hepatica”. http://www.iptek.net.id/ind/pd_invertebrata /index.php?mnu=2. Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 19.00 WIB.
Jahja, J. L, Lestariningsih. N, Fitria. Tatik suryani. 2006. Penyakit- Penyakit Penting Pada Ayam. PT Medion, Bandung.
Johnstone, C. 2000. ”Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals”. http://cal.vet.upenn.edu/projects/merial/Strongls/strong_5.htm. Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 19.00 WIB.
Kadarsan, S. 2000. Binatang Parasit. Bina Karya, Bogor.
Larsen, M. 2000. Prospect for controlling animal parasitic nematodes by predacious micro fungi. Parasitology. 120: S121-S131.
Press,Yogyakarta.
Ludgate, P. J. 2006. Sukses Beternak Kambing dan Domba. Agro Inovasi, Jakarta.
Mashur, M. S. 2001. Beberapa Penyakit pada Ternak Ruminansia. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nusa Tenggara Barat.
Rangga, T.C. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya-volume 2. Kanisius, Yogyakarta.
Rianto, E. Dan E. Purbowati. 2011. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sitepoe, M. 2008. Cara Memelihara Domba dan Kambing Organik. Indeks, Jakarta.
Sonjaya, H. 2010. Bahan Ajar Fisiologi Ternak Dasar. Fakuiltas Peternakan-Universitas Hasanuddin, Makassar.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sugeng, Y. B. 2000. Edisi I. Ternak Potong dan Kerja. CV. Swadaya, Jakarta.
Suprijatna, E. Atmomarsono, U. dan Kartasudjana, R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius, Yogyakarta.
Veterinary. 2010. “Haemonchus contortus. http://en.wikipedia.org/wiki/ Haemonchus contortus . Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 19.40 WIB.
Veterinary. 2010. “Oesophagostamum”. http://en.wikipedia.org/wiki/ Oesophagostamum.  Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 19.30 WIB.
Veterinary. 2010. ”Trichostrongylus spp”. http://en.wikipedia.org/wiki/Trichostrongylus spp.  Diakses tanggal7 Desember 2012, jam 19.30 WIB.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Beternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.




LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Wawancara Peternak
Tabel 1. Hasil wawancara peternak
No
Pertanyaan
Jawaban
1
Nama                                           
Suwarno
2
Alamat
Banjarsari, Tembalang Selatan
3
Pendidikan
SD
4
Mulai beternak tahun
2012 (baru 3 bulan)
5
Ilmu beternak didapat dari
-
6
Jumlah ternak
3 ekor, 1 induk dan 2 anak
7
Bagaimana cara mengetahui kalo ternaknya sakit
-
8
Sebutkan nama penyakit yang pernah menyerang ternaknya
Scabies
9
Cara menangani kalau ada penyakit
-
10
Usaha untuk mencegah penyakit
-
11
Pakan yang diberikan dan waktu pemberian
Rumput sore hari 1x pukul 16.00
12
Cara membersihkan tubuh ternak
Tidak pernah dibersihkan
13
Cara membersihkan kotoran
Disapu
14
Cara membuang kotoran yang menumpuk
Membuang kotoran disungai
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.



Lampiran 2. Pengamatan Kondisi Lingkungan dan Kandang Ternak
Tabel 2. Hasil pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak
No
Indikator
Pengamatan
1
Jarak kandang dengan rumah
15 meter
2
Apakah lingkungan mendukung
Iya, mendukung
3
Ternak lain disektar kandang
Ada, kerbau
4
Sumber air
Sungai
5
Kondisi saluran pembuangan feses
Tidak ada
6
Tanaman disekitar kandan
Pohon pisang dan pohon singkong
7
Suhu udara dan tiupan anging
30o, ada yaitu dari satu sisi
8
Sifat bangunan kandang
Kurang memenuhi syarat
9
Kebersihan alas kandang
Kurang berih
10
Tempat pakan dan minum
Kurang memenuhi syarat
11
Kondisi lain yang kurang memenuhi syarat
Dindingnya, atasnya seng dan jarak antar kandang kurang sesuai
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.








Lampiran 3. Pemeriksaan Kondisi Ternak
Tabel 3.Pengamatan Tingkah laku ternak

Ternak yang diamati


·         Jenis ternak
Kambing Jawarandu

·         Jenis kelamin
Betina 2, jantan 1

·         Umur ternak
1 ekor (1,5 th) dan 2 ekor (3 bulan)
1
Aktivitas
Diam
2
Nafsu makan & minum
Tinggi
3
Posisi berdiri
Tegak
4
Bagian anggota tubuh yang tidak aktif bergerak
Betina (anak) ekor tidak bergerak
5
Kondisi berat badan
Kurus

Tabel 4. Pemeriksaan fisik
No.
Indikator
Pengamatan
1
Bagian tubuh yang nampak sakit
Kulit, bulu, hidumg, telinga, sendi kiri luka
2
Pengaruhnya terhadap ternak
Gatal-gatal, nafsu makan (anak) kurang
3
Pengobatan yang telah dilakukan
-
4
Temperature tubuh
37oC
5
Gerakan pernafasan
Tenang teratur
6
Kecepatan pulsus
52 kali/menit
7
Gerakan usus
Lambat
8
Gerakan rumen
1 kali/menit
9
Kondisi feses yang keluar
Padat bentuk permukaan bulat
10
Kondisi urin
Keluar sedikit
11
Pemeriksaan lain
-

Tabel 5. Pengambilan feses
No
Indikator
Pengamatan
1
Cara pengambilan feses
Ditampung
2
Kondisi feses yang diambil
Padat bentuk permukaan bulat
3
Jumlah feses yang diambil
Kurang lebih 3 gram
4
Tempat penampungan feses
Plastik
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.


Lampiran 4. Pemeriksaan Mikroskopis Feses
Tabel 6. Hasil pengamatan mikroskopis feses
Metode
Gambar telur cacing
Ciri khusus
Diagnosa
Natif
-
-
-
Sentrifuse
Description: Trichostrongylus_spp








·   Tubuhnya bulat seperti anggur
·      Antar bulatan rapat
Pada kambing anakn terdapat telur Trichostrong ylus sp.
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.




Lampiran 5. Pengamatan Preparat Awetan Parasit
Tabel 7. Hasil pengamatan preparat awetan parasit
No.
Gambar
Ciri Khusus
Keterangan
1
Fasciola g.
Bentuknya seperti sandal
Ukurannya cukup besar
Bentuknya pendek lebar
Berwarna abu-abu dengan warna putih di bagian mata
Endoparasit
2
Oesophagostamum
Bentuk bulat panjang
Berwarna coklat
Kepala lancip
Endoparasit
3
Description: moniezadultMoniezia
Bentuk pipih panjang
Berwarna putih kekuningan
Endoparasit
4
Sarcophaga
Ukurannya sedang
Berwarna hijau hitam
Ektoparasit
5
Tabanus rubidus
Kepala warna hitam
Tubuhnya warna kuning
Punggungnya warna coklat
Ektoparasit
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.









Lampiran 6. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas
Tabel 8. Riwayat hidup unggas
No.
Indikator
Pengamatan
1.
Jenis ayam
Broiler
2.
Jenis kelamin
Betina
3.
Umur
3 minggu
4.
Didapatkan dari
RPU Penggaron
5.
Kondisi umum
Sakit
6.
Riwayat kesehatan
Pernah divaksin
7.
Tindakan peternak
Vaksinasi, pemberian vitamin.
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 9. Pengamatan performans unggas
No.
Indikator
Pengamatan
1.
Tingkah laku
Lemah
2.
Perubahan anatomi


Bagian kepala (jengger)
Kecil tapi sehat

Bagian dubur
Normal

Bagian kulit
Normal
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.


Lampiran 7. Nekropsi ayam
Tabel 10.Hasil pemeriksaan warna dan kondisi jaringan dibawah kulit (subkutan) dan otot dada
No.
Indikator
Kondisi
1.
Jaringan subkutan
Bersih warna normal
2.
Jaringan daging
Basah mengkilat warna normal
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 11. Hasil pemeriksaan organ setelah otot dada dan perut dibuka
No.
Indikator
Kondisi
1.
Isi rongga dada
Bersih
2.
Isi rongga perut
Bersih
3.
Kantong udara
Bersih
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 12. Hasil pemeriksaan saluran pencernaan
No.
Indikator
Kondisi
1.
Dinding saluran


·         Ceca
Dinding merah

·         Hidung
Berlendir

·         Usus
Permukaan merah-merah

·         Laring
Berlendir
2.
Isi saluran pencernaan


·         Gizzard
Dinding mudah dikelupas
Selaput dinding rapuh
Dinding dalam bersih dan tidak ada warna merah
3.
Perubahan lain
-
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 13. Hasil pemeriksaan hati
No.
Indikator
Kondisi
1.
Ukuran
Besar
2.
Warna
Tidak homogeny
3.
Konsistensi
Kenyal
4.
Kantong empedu
Selaput berlemak, warna keruh, ukuran besar.
5.
Kelainan lain
-
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Lampiran 7. Nekropsi ayam (Lanjutan)
Tabel 14. Hasil pemeriksaan jantung
No.
Indikator
Kondisi
1.
Ukuran
Sedang
2.
Warna
Kecoklatan
3.
Selapur jantung
Berlemak
4.
Konsistensi
Kenyal
5.
Kelainan lain
-
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 15. Hasil pemeriksaan ginjal
No.
Indikator
Kondisi
1.
Ukuran
Tidak simetris (besar kanan)
2.
Warna
Tidak homogeny
3.
Kelainan lain
-
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 16. Hasil pemeriksaan pankreas
No.
Indikator
Kondisi
1.
Ukuran
Sedang
2.
Warna
Putih
3.
Kelainan lain
-
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 17. Hasil pemeriksaan bursa fabrisius
No.
Indikator
Kondisi
1.
Ukuran
Besar, bentuk seperti bunga
2.
Warna
Putih kekuningan
3.
Isi
Bengkak
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 18. Hasil pemeriksaan trakhea
No.
Indikator
Kondisi
1.
Warna
Putih
2.
Isi
Bersih
3.
Kelainan lain
-
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Lampiran 7. Nekropsi ayam (Lanjutan)
Tabel 19. Hasil pemeriksaan paru-paru
No.
Indikator
Kondisi
1.
Warna
Tidak merata
2.
Konsistensi
Kenyal
3.
Uji apung
Mengapung
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.
Tabel 20. Hasil pemeriksaan syaraf
No.
Indikator
Kondisi
1.
Warna
Putih
2.
Ukuran
Sedang
3.
Kelainan lain
Normal
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

1 komentar:

  1. Casino in Michigan - DrMCD
    casino in 부산광역 출장안마 Michigan. Get 충주 출장안마 a 대전광역 출장마사지 bonus now to play on your favorite casino games. a casino bonus and a free spins bonus. All players 천안 출장마사지 who register 하남 출장안마 at the casino must

    BalasHapus